Uang Panai, Apakah lebih seram dari nenek grandong ?

by - April 28, 2017




Dulu ketika jabatan saya masih sebagai Sales Admin area Indonesia Timur saya tentunya banyak bergaul dengan teman-teman dari area Sulawesi dan sekitarnya. Mereka yang kebanyakan bersuku Bugis punya banyak cerita yang sedih, lucu, dan menegangkan saat bercerita mengenai pernikahan.

Dari beberapa teman wanita yang saya kenal disana 50% belum menikah, alasannya apa hayo? Alasannya orang tua mereka yang mematok uang panai yang cukup tinggi. Bahkan karena tingginya uang panai yang diminta keluarga pihak perempuan banyak pasangan muda mudi yang akhirnya memutuskan kawin lari atau memilih tinggal diluar Sulawesi untuk menghindari membayar uang panai yang fantastis.

Sebenarnya uang mahar bukan hanya milik suku Bugis saja, hampir semua suku didunia menetapkan adanya uang mahar sebagai salah satu syarat pernikahan. Jumlahnya tentu saja bervariatif tergantung suku, pendidikan, derajat keluarga dan banyak faktor lainnya. Lantas mengapa uang Panai di suku Bugis sangat fantastis nilainya?

Seperti yang saya utarakan tadi panai sebagai mahar yang harus dibayarkan oleh calon pengantin pria jumlahnya tergantung dari si calon pengantin perempuan. Banyak faktor yang mempengaruhi, kita ambil contoh misalnya jenjang pendidikan. Akan berbeda nilai uang panainya jika calon mempelai perempuan lulusan SMA dibandingkan dengan yang lulusan S1 apalagi S2 belum lagi profesinya apakah dia seorang pegawai kantoran, dokter, apalagi PNS.

Katakanlah jika si calon mempelai perempuan lulusan SMA uang panainya adalah 50 juta, bisa jadi yang harus dibayar jika predikatnya lulusan S1 adalah 75 juta hingga 100 juta tergantung jurusannya apa, apalagi jika lulusan S2 bisa mencapai angka 150 juta bahkan lebih. Belum lagi latar belakang keluarganya, kalau masih berbau-bau bangsawan apalagi punya gelar ANDI dan sudah bertitel Haji widihhh uang panai nya siap-siap saja.

Hal ini pernah saya tanyakan ke salah satu teman saya yang kebetulan istrinya sarjana dan PNS, dulu ketika hendak melamar dia sudah pusing 7 keliling mau cari pinjaman kemana. Jaman awal tahun 2000 sudah minta 100 juta, dia sudah rencana mau bawa kabur aja itu anak orang kalo gak ingat statusnya yang pegawai negeri. Akhirnya setelah dinego tetep gak bisa turun, hahahaha, hanya saja dicicil alias kredit tanpa bunga yang entah sampai kapan habisnya.

Yang namanya tradisi ya pasti turun temurun, bahkan teman saya ini yang sekarang punya 2 anak perempuan katanya ingin “balas dendam” nanti ketika anaknya dilamar orang dia bakal minta uang panai yang tinggi juga.


Tapi masyarakat Indonesia kan segala sesuatunya selalu dan bisa dimusyawarahkan, saya rasa tradisi ini tetap akan menjadi tradisi yang tentunya bisa masuk logika. Pasti akan ada pembicaraan atau negosiasi antara pihak calon pengantin pria dan perempuannya. Semuanya bisa didiskusikan dan dikondisikan tergantung dari kesepakatan dari kedua belah pihak. Jadi, jangan takut menikah ya karena uang panai yang tak ada logika.

You May Also Like

0 komentar